Ft. Seorang Waitress Cantik Korea Utara
Laporan setebal 98 halaman yang dirilis HRW pada Kamis (1/11) waktu setempat ini disusun selama lebih dari dua tahun terakhir. Laporan ini didasarkan pada wawancara dengan 50-60 korban kekerasan seksual yang berhasil keluar dari Korea utara.
Laporan HRW itu mengungkapkan dunia penuh penindasan di Korut dengan para pejabat, mulai dari polisi, sipir penjara hingga pejabat pengawas pasar sama sekali tidak menghadapi konsekuensi apa pun atas tindakan bejat mereka memperkosa dan melecehkan kaum wanita secara rutin.
"Kontak seksual tak diinginkan dan kekerasan seksual sangat umum di Korea Utara sehingga harus diterima sebagai bagian dari kehidupan normal," sebut laporan terbaru HRW tersebut.
Direktur Eksekutif HRW, Kenneth Roth, menyebut kekerasan seksual di Korea utara menjadi 'rahasia umum, tidak pernah ditanggapi dan ditoleransi secara luas'. "Wanita Korea Utara mungkin akan mengatakan 'Me Too' jika mereka berpikir ada acara untuk mencari keadilan, tapi suara mereka dibungkam oleh kediktatoran Kim Jong-Un," ucap Roth dalam pernyataannya.
Korut yang selama ini dituding melakukan pelanggaran HAM secara luas oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi hierarki dan patriarki. Kebanyakan pembelot dan pedagang di pasar-pasar Korea utara adalah kaum perempuan.
Kebanyakan wanita Korea utara memang mempunyai kebebasan untuk bepergian dibandingkan kaum pria, karena mereka tidak terikat pada tugas negara. Namun setiap wanita Korea utara yang kedapatan melarikan diri ke China atau mereka yang dideportasi dari negara tetangga, akan menghadapi hukuman sangat berat termasuk penyiksaan, dijebloskan ke penjara dan mengalami kekerasan seksual.
"Setiap malam, beberapa wanita akan dipaksa pergi dengan seorang penjaga dan diperkosa," tutur salah satu wanita Korut berusia 30 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual saat ditahan di pos perbatasan. "Setiap malam, seorang sipir penjara akan membuka sel. Saya berdiri dengan tenang, bersikap seolah-olah tidak peduli, berharap agar itu bukan saya," ujarnya.
Setiap wanita Korut yang menjadi pedagang dan kedapatan menyelundupkan barang dari perbatasan China, akan dipaksa membayar 'suap' termasuk dalam bentuk jasa seksual. Mereka yang meminta suap termasuk manajer perusahaan milik negara dan petugas penjaga di pasar, jalanan dan pos keamanan, hingga polisi, jaksa, tentara dan petugas pemeriksa rel kereta api.
Laporan HRW menyebut, konsep pemerkosaan dipahami berbeda di Korea utara. Yang dipahami sebagai pemerkosaan adalah jika melibatkan kekerasan.
Salah satu wanita Korea utara yang pernah bekerja sebagai pedagang kain menceritakan kisahnya diperlakukan seperti 'mainan seks' oleh para pejabat di sana. "Pada hari-hari saat mereka ingin melakukannya, penjaga pasar atau polisi meminta saya mengikuti mereka ke sebuah ruangan kosong di luar pasar, atau sejumlah lokasi lain yang mereka pilih (untuk kontak seksual)," sebutnya.
"Itu terjadi begitu sering sehingga tidak seorangpun yang menganggapnya persoalan besar," imbuhnya.
Praktik pemerkosaan dan kekerasan seksual tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah Korea utara. Beberapa korban pemerkosaan dan kekerasan seksual di Korut bahkan menuturkan bagaimana mereka diusir dari kampus atau dipukuli dan ditinggalkan suami mereka karena dianggap mempermalukan sekolah atau keluarga mereka.
"Ini bukan isu yang mengancam rezim. Itulah kenapa ini mengerikan karena pemerintah tidak melakukan apapun untuk mencegah kekerasan seksual oleh para pejabat mereka," sebut Roth.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar